Home / Ekonomi | |||||||||
Menkeu Sri Mulyani Berencana Naikkan Tarif PPN Tahun Depan Jumat, 07/05/2021 | 13:38 | |||||||||
Ilustrasi JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) untuk meningkatkan penerimaan pajak tahun depan. Tarif PPN yang berlaku saat ini adalah sebesar 10 persen. Sri Mulyani menyatakan, dalam rencana postur APBN 2022, penerimaan pajak ditawarkan sebesar Rp1.499,3 triliun hingga Rp1.528,7 triliun. Angka itu lebih tinggi dari proyeksi tahun ini, yang sebesar Rp1.444,5 triliun. Menurut Sri Mulyani, kenaikan tarif PPN adalah bagian dari inovasi penggalian potensi pajak, dengan tetap menjaga iklim investasi dan keberlanjutan dunia usaha. Untuk mengejar target penerimaan pajak, Kemenkeu juga akan memperluas basis pajak, menguatkan sistem perpajakan, dan memberi insentif fiskal secara terukur. “Jadi kami tetap akan menjalankan reform dengan menggali dan meningkatkan basis pajak, memperkuat sistem perpajakan dengan kortax,” kata Sri Mulyani di acara Musrenbangnas 2021, dikutip dari kompas Jumat (7/5/2021). Selain menaikkan tarif PPN, Kemenkeu juga berencana memungut pajak e-commerce dan menerapkan cukai plastik. Rencana kenaikan tarif PPN ini, berkebalikan dengan saran Ekonom Institute of Development on Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira. Ia menyarankan pemerintah untuk menanggung pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen untuk barang ritel. Bhima menilai, jika hal itu dilakukan pemerintah, dampaknya langsung terasa oleh masyarakat. Di mana harga barang menjadi lebih murah, hingga akhirnya belanja masyarakat meningkat. "Itu harapannya kalau orang belanja di retail makanan-minuman, itu langsung lihat di struk, ‘Wah PPN-nya kurang nih?’. Harga jual akhirnya pada tangan konsumen jadi lebih murah,” kata Bhima dalam webinar Pemulihan Ekonomi untuk Sektor UMKM Nasional, Rabu (28/4/2021). Jika tidak menanggung seluruh PPN, pemerintah bisa menanggung setengahnya. Atau menurunkan tarif PPN dari 10 persen menjadi 5 persen. "Besarannya bisa dibahas lebih lanjut oleh pemerintah, karena berkaitan dengan rasio pajak dan defisit pemerintah, " ujar Bhima. Namun yang penting, kebijakan itu harus dikeluarkan dalam waktu dekat. Selama ini, pemerintah memang sudah memberikan bantuan untuk mendorong daya beli dan konsumsi masyarakat. Seperti bantuan sosial dan bantuan gaji. Namun untuk insentif perpajakan, pemerintah baru memberikan keringanan tarif pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk mobil, yang hanya bisa dinikmati golongan masyarakat menengah atas. Bhima menilai, insentif perpajakan lebih banyak untuk UMKM atau badan usaha. Misalnya, penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dan penanggungan PPh untuk UMKM. (*)
|
|||||||||
|
|
HOME | OTONOMI | POLITIK | EKONOMI | BRKS | OTOMOTIF| HUKRIM | OLAHRAGA | HALLO INDONESIA | INTERNASIONAL | REDAKSI | FULL SITE |
Copyright © 2010-2024. All Rights Reserved |