Home / Pekanbaru | ||||||
Derita Dwi Usai Operasi Usus Buntu, Diduga Jadi Korban Malapraktik RS Awal Bros Ahmad Yani Pekanbaru Minggu, 16/08/2020 | 16:24 | ||||||
Tim Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yayasan Pemuda Sahabat Hukum (YPSH) Firman Aritonang, SH dan cs bakal mengawal kasus dugaan malpraktik yang dialami Dwi. PEKANBARU - Dwi (52), janda tiga anak warga Kota Pekanbaru, harus menanggung derita berketerusan setelah operasi usus buntu yang dijalaninya di Rumah Sakit Awal Bros Jalan Ahmad Yani, Pekanbaru, diduga malah jadi malpraktik. Akibat, diduga gagalnya operasi atau malpraktek ini, Dwi harus kehilangan daya tahan tubuh seperti manusia normal lainnya. Kondisi fisiknya kini hanya tinggal kulit pembalut tulang. Hal ini dialaminya sudah selama 2 tahun. Awal penderitaan Dwi dimulai bulan Desember 2018 lalu. Awalnya dia dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah, Pekanbaru. Dirinya diharuskan menjalani operasi usus buntu setelah hasil diagnosa dia dinyatakan mengalami sakit pada ususnya. Belakangan, rencana itu gagal, karena Dwi menolak dioperasi dengan alasan harus ketemu dahulu dengan dokter bedah tersebut sebelum operasi. Tak berhasil bertemu, korban pulang, hingga sepekan lamanya, masuk lagi ke Rumah Sakit Awal Bros Ahmad Yani. "Ketemu dokter, sempat dirawat selama 3 hari, esoknya kembali dan saya siap dilakukan operasi karena sakit usus buntu, di Rumah Sakit Awal Bros Ahmad Yani dengan dokter R," begitu kata korban kala itu. Sempat dirawat dua pekan setelah operasi, dirinya dianjurkan pulang oleh dokter R. Dengan kondisi lemah habis operasi itu korban dibantu putrinya pulang ke rumah dan kembali harus menjalani pemeriksaan di Rumah Sakit Prima. "Kondisi ibu tak ada perkembangan, karena faktor umur," alasan dokter R kepada putri pertama Dwi untuk menyuruhnya pulang. Saat itu terjadilah perubahan, tak seperti biasanya pasien lainnya yang juga jalani operasi usus buntu. Organ tubuh bagian perut mulai membesar, susut, dan kembali besar. Seperti layaknya ibu-ibu hamil. Belakangan, makan dan minum yang dikonsumsi Dwi, mengalir deras keluar dari bekas operasi dokter. Tak terbendung, semua yang masuk dari mulut keluar, termasuk kotoran BAB, ikut keluar saat kain pembalut dibuka. "Sepertinya agak beda, perut mulai buncit kayak ibu-ibu hamil, makan dan minum yang masuk dari mulut, habis semua keluar saat perban bekas operasi dibuka. Termasuk kotoran saya," seraya menunjukkan bekas operasi usus buntunya di bagian perut sebelah kanan. Kondisi tak stabil ini menjadi tanda tanya besar bagi dirinya. Dibantu dua anaknya, Dwi mulai curiga operasi yang dialaminya ini diduga tak sesuai harapan. Upaya konfirmasi terus dilakukan ke Rumah Sakit, untuk mendapatkan jawab hal yang dialaminya. Tak sampai di sana, Dwi akhirnya memilih mencari tahu sendiri perihal kondisi kesehatannya yang terus menurun. Dia mendatangi Rumah Sakit Awal Bros Sudirman. Hingga akhirnya dilakukan operasi kedua kalinya dengan dokter lain. Lagi-lagi, hasilnya tak memuaskan. "Tak ketemu hasilnya, selang waktu datanglah dokter lainnya. Lagi-lagi saya dioperasi untuk yang ketiga kalinya," sebut Dwi. Alangkah kagetnya, kata Dwi, pada operasi ini Dwi harus relakan ususnya dikeluarkan sepanjang 16 meter kurang lebih. "Usus saya dikeluarkan dari perut kurang lebih 16 meter panjangnya. Disitulah baru ketemu bahwa usus saya ini sudah sobek-sobek semua. Katanya, saya akan dioperasi lagi untuk menyambung usus kecilnya," akunya. Kejanggalan ini, ternyata tak sampai disitu, hasil pemeriksaan kesehatan dan operasi korban, tak satupun yang diserahkan ke pasien oleh pihak rumah sakit. Padahal pasien dan keluarga tentu sangat butuh untuk tahu sebenarnya apa yang terjadi terhadap Dwi. Belakangan, pihak Rumah Sakit Awal Bros Ahmad Yani, menyerahkan uang tunai sebesar Rp50 juta kepada Dwi sebagai tanda jalinan kasih. Meski mendapatkan uang cuma-cuma, Dwi seperti mendapat intimidasi pihak rumah sakit. Dia seakan dilarang menceritakan kejadian yang dialaminya selama ini. "Katanya jalin kasih (Rp50juta,red). Tapi, ibu tak bisa banyak ngomong dengan keadaan seperti ini di luar. Kalau ibu cerita, akan berhadapan dengan pihak rumah sakit. Ini kan ancaman namanya," kata Dwi menirukan apa yang disampaikan pihak rumah sakit. Dwi menerima uang tersebut seraya menanda tangani beberapa surat kala itu. Akhir perjalanan itu, kondisi tubuh Dwi berubah total sejak semula sebelum operasi. Badannya mulai kurus kering, fisiknya melemah seakan seluruh badannya seakan kehilangan rasa (kebas). Hingga hampir semua jari jemarinya tampak mengelupas. Seiring proses pemulihan pasca operasi usus buntu, Dwi dibantu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yayasan Pemuda Sahabat Hukum (YPSH) Firman Aritonang, SH dan cs, membawa perkara ini ke jalur hukum di Polda Riau. "Langkah awal buat laporan pengaduan dugaan malapraktik yang dilakukan oleh salah satu rumah sakit di Pekanbaru. Kita minta segera diusut laporan itu. Sekarang masih menunggu proses seperti apa di Polda Riau," kata Firman kepada halloriau.com, Sabtu (15/8/2020) siang. Upaya konfirmasi ke pihak Rumah Sakit, telah berlangsung. Namun seperti menemukan jalan buntu. Menurut Firman, jawaban yang dilontarkan mereka sudah seperti di luar nalar akal sehat manusia. Bahkan, kondisi korban disebut faktor penyebab kegagalan operasi. "Saat ditanya meraka bingung, malah menuduh balik klien kami yang salah. Karena kondisi korban lemah, ada penyakit lain. Kalau itu alasannya, kita sulit terima di akal sehat. Karena untuk dioperasi itu kan ada penalaran khusus dari medis sebelum dioperasi, layak atau tidak. Nah ini lah yang terjadi," terang Firman yang didampingi Sekjen YPSH, Dodi Mukti Yadi. Sedangkan, proses operasi korban yang dilakukan pihak dokter rumah sakit, kata pihak rumah sakit sudah sesuai prosedur. Faktanya, kata Firman, kondisi korban setelah operasi banyak mengalami perubahan yang sangat drastis. "Menurut mereka itu sudah sesuai prosedur. Kita menilai ini belum selesai. Sesuai prosedurnya mereka ini, harus kita uji, karena kita tak ingin lagi adanya korban-korban berikutnya," tegas Firman. Lebih lanjut, kata Firman, pihak Rumah Sakit Awal Bros Ahmad Yani juga membuat heran terkait perjanjian yang harus ditandatangani pasien sewaktu penyerahan jalinan kasih. Menurut Firman, penyerahan itu sangat tertutup dan tidak transparan. "Kita menduga, ada ruang sempit atau ruang gelap untuk mengelabui klien kami. Membuat perjanjian tak transparan, juga saat pemberian jalinan kasih. Tiba-tiba suruh tandatangan surat tanpa harus diketahui lebih dulu sama klien kami," kesal Firman. Ditambahkan Sekjen YPSH, Dodi Mukti Yadi, pihaknya akan terus mengawal perkara ini hingga ke meja persidangan. Sembari masih menunggu langkah proses tindak lanjut dari hasil laporan pengaduan ke Polda Riau. "Kita akan kawal kasus ini ke pengadilan. Tapi, seandainya di tengah perjalanan nanti, pihak Rumah Sakit akan bertanggung jawab pada klien kami, tak menutup kemungkinan perkara ini akan kita hentikan juga. Tentunya seperti apa niat mereka itu. Kita juga selalu membuka ruang," pungkas Dodi. Terpisah saat dikonfirmasi ke Humas Rumah Sakit Awal Bros Ahmad Yani Pekanbaru, Dian Anggraini terkait kasus laporan pengaduan dugaan malapraktik yang dilakukan oleh dokter R itu, Dian mengaku kurang tahu. "Kalau itu saya kurang tau Pak, saya harus konfirmasi ke bagian Managemen dulu Pak," ucapnya. Malahan, dia mangarahkan untuk mengkonfirmasi ke Manager Management Rumah Sakit Awal Bros, dokter Dedi Agusmar. Saat Dedi Agusmar diminta tanggapannya, menyebut harus mencek lagi terkait hal tersebut. "Nanti kita cek kembali ya bang. Soalnya saya sekarang lagi di Dumai sampai bulan November," singkat Dedi. Penulis : Helmi Editor: Yusni Fatimah |
||||||
|
|
Komentar Anda:
HOME | OTONOMI | POLITIK | EKONOMI | BRKS | OTOMOTIF| HUKRIM | OLAHRAGA | HALLO INDONESIA | INTERNASIONAL | REDAKSI | FULL SITE |
Copyright © 2010-2024. All Rights Reserved |