Home / Hukrim | ||||||
Ketua FJPI Riau: Kasus Baiq Nuril Bukti Wanita Lemah di Mata Hukum Senin, 19/11/2018 | 17:52 | ||||||
Baiq Nuril Maknun PEKANBARU - Baiq Nuril Maknun, mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang dilecehkan oleh Kepala Sekolah tempat dia mengajar, dinyatakan bersalah menyebarkan rekaman bermuatan kesusilaan dan dihukum enam bulan penjara serta denda Rp500 juta dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA). Petikan Putusan Kasasi dengan Nomor 574K/Pid.Sus/2018 yang diterima tanggal 9 November tersebut menyatakan Baiq Nuril bersalah melakukan tindak pidana, "Tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan." Padahal Pengadilan Negeri Mataram memutuskan Baiq tidak bersalah dan membebaskannya dari status tahanan kota. Menghadapi kenyataan ini, Baiq hanya bisa berharap hukumannya dapat diringankan dan dirinya tidak ditahan. Ironisnya, di tengah kedukaan dan ketidak adilan yang dialami Baiq Nuril, sang kepala sekolah yang melecehkannya justru mendapat promosi kenaikan jabatan. Ikut memberikan dukungan moril untuk Baiq Nuril, Ketua FJPI Riau, Luzi Diamanda menyatakan, kasus ini membuktikan wanita masih berada pada posisi nomor dua dan dilemahkan secara hukum. Baiq Nuril yang mencoba membela diri dengan merekam percakapan a susila sang kepala sekolah mengajar tempat dia harusnya didukung, bukan dihukum, karena dia pada saat bersamaan sekaligus juga menjadi korban kekuasaan. "Saat peristiwa terjadi Baiq hanyalah guru honorer dan yang melecehkan dia secara seksual melalui sambungan seluler adalah kepala sekolahnya sendiri. Nuril tak mungkin tidak mengangkat telpon sang Kepsek karena resikonya pada pekerjaan. Jadi cara Nuril membela diri adalah merekam percakapan tersebut, agar tak terjadi fitnah, agar Nuril tidak disalahkan, jika kasus ini muncul ke permukaan," ujar Ketua FJPI Riau di Pekanbaru, Senin (19/11/2018). Menurut Luzi, kasus seperti Nuril barangkali saat ini banyak terjadi di lingkungan tempat perempuan bekerja dan mereka diam karena takut dua risiko. Risiko pertama akan dianggap pihak yang salah karena melayani atasan dalam perbincangan atau perbuatan pelecehan seks. Dan risiko kedua, dia akan kehilangan pekerjaan jika tidak melayani perbuatan atasan. Akhirnya, diam dan menahankan segala derita batin menjadi pilihan. "Saatnya pemerintah memberikan ruang untuk perempuan yang bekerja. Ruang yang nyaman dari segala pelecehan, dengan memberikan perlindungan jelas, baik untuk pekerjaan apalagi hukum. Dengan demikian kasus Nuril-Nuril yang lain bisa diredam," ujar Luzi. Luzi sekaligus mengimbau, khususnya untuk Riau, para perempuan pekerja atau perempuan karir yang mengalami nasib yang sama dengan Nuril, jangan diam. Lawan kesemena-menaan itu, dengan membukakannya kepada publik, melalui aparat hukum bahwa nasib mereka terabaikan, terlecehkan dan tercemarkan. "Mari lawan kesemena-menaan ini secara bersama, jika kasus ini terjadi di Riau, FJPI Riau siap memberikan pendampingan," kata Luzi. Kronologis​ Kasus Baiq Nuril Awalnya, perbincangan antara M, sang Kepala Sekolah dengan Baiq berlangsung selama kurang lebih 20 menit. Dari 20 menit perbincangan itu, hanya sekitar 5 menitnya yang membicarakan soal pekerjaan. Sisanya, M malah bercerita soal pengalaman seksualnya bersama dengan wanita yang bukan istrinya. Perbincangan itu pun terus berlanjut dengan nada-nada pelecehan terhadap Baiq. Terlebih M menelepon Baiq lebih dari sekali. Baiq pun merasa terganggu dan merasa dilecehkan oleh M melalui verbal. Tak hanya itu, orang-orang di sekitarnya menuduhnya memiliki hubungan gelap dengan M. Merasa jengah dengan semua itu, Baiq merekam perbincangannya dengan M, untuk membuktikan dirinya tak memiliki hubungan dengan atasannya itu. Kendati begitu, Baiq tidak pernah melaporkan rekaman itu karena takut pekerjaannya terancam. Hanya saja, ia bicara kepada Imam Mudawin, rekan kerja Baiq, soal rekaman itu. Namun, rekaman itu malah disebarkan oleh Imam ke Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Mataram. Merasa tidak terima aibnya didengar oleh banyak orang, M pun melaporkan Baiq ke polisi atas dasar Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Padahal rekaman tersebut disebarkan oleh Imam, namun malah Baiq yang dilaporkan oleh M. Kasus ini pun berlanjut hingga ke persidangan. Setelah laporan diproses, Pengadilan Negeri Mataram memutuskan Baiq tidak bersalah dan membebaskannya dari status tahanan kota. Kalah dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Singkat cerita pada 26 September 2018 lalu, MA memutus Baiq bersalah. (rilis)
|
||||||
|
|
Komentar Anda:
HOME | OTONOMI | POLITIK | EKONOMI | BRKS | OTOMOTIF| HUKRIM | OLAHRAGA | HALLO INDONESIA | INTERNASIONAL | REDAKSI | FULL SITE |
Copyright © 2010-2024. All Rights Reserved |