Home / Politik | |||||||||
Anggota KPU dan KIP Diminta Lepas Jabatan di Ormas Sabtu, 11/11/2017 | 15:22 | |||||||||
JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI meminta seluruh anggota KPU/Komisi Independen Pemilihan (KIP) tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang masih aktif dalam kepengurusan organisasi kemasyarakatan (Ormas) berbadan hukum dan tidak berbadan hukum agar mengundurkan diri. Instruksi tersebut disebarkan kepada seluruh Ketua KPU/KIP Provinsi dan Ketua KPU/KIP Kabupaten/Kota melalui surat nomor 666/SDM.12-SD/05/KPU/XI/2017 tertanggal 7 November 2017. Menurut Komisioner KPU Hasyim Asy'ari, ketentuan yang disampaikan KPU melalui surat itu merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Ketentuan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pemilu menyebutkan bahwa syarat untuk menjadi calon anggota KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota adalah bersedia mengundurkan diri dari kepengurusan ormas yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum telah terpilih menjadi anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota yang dibuktikan dengan surat pernyataan. Hasyim menjelaskan, untuk menjadi anggota KPU, ada syarat yang harus dipenuhi yaitu, bersedia bekerja sepenuh waktu dan sebisa mungkin menghindari konflik kepentingan. "Artinya apa? Menjadi anggota KPU bukan pekerjaan sambilan. Konsekuensinya, bagi yang PNS atau apa, kan harus mengundurkan diri," kata Hasyim, ditemui usai sidang penanganan pelanggaran administratif pemilu, di Gedung Bawaslu RI, Jakarta, Kamis (9/11/2017). Alasan kedua, anggota KPU sebisa mungkin menghindari konflik kepentingan. Maka dari itu, seluruh anggota KPU diminta melepas jabatan pengurus ormas. "Cara berpikirnya dua itu," katanya. Surat KPU Nomor 666/SDM.12-SD/05/KPU/XI/2017 juga menyebutkan, surat keputusan pemberhentian dari ormas dan surat pernyataan diserahkan kepada KPU paling lambat tanggal 29 Desember 2017. Tak ada sanksi terkait syarat melepaskan jabatan pada kepengurusan ormas. "Hanya saja, itu menjadi syarat anggota KPU," ujar Hasyim seperti dilansir situs kompas. Secara pribadi, Hasyim berpendapat, ketentuan tersebut seharusnya tidak 'saklek' (harga mati) dalam Undang-Undang Pemilu. "Dalam arti, kalau menjadi pengurusnya tidak menggangu kerja sepenuh waktu dan juga tidak menimbulkan potensi konflik kepentingan, mestinya boleh-boleh saja," kata Hasyim. (*) |
|||||||||
|
Komentar Anda:
HOME | OTONOMI | POLITIK | EKONOMI | BRKS | OTOMOTIF| HUKRIM | OLAHRAGA | HALLO INDONESIA | INTERNASIONAL | REDAKSI | FULL SITE |
Copyright © 2010-2024. All Rights Reserved |