Home / Meranti | ||||||
Sagu Menduniakan Lokal Wisdom, Refleksi Sempena Hari Jadi ke-11 Kabupaten Kepulauan Meranti Kamis, 19/12/2019 | 12:50 | ||||||
Rudi Alhasan MERANTI - Tepat 19 Desember 2019, Tanah Jantan Kabupaten Kepulauan Meranti merayakan hari jadi yang ke-11. Anak bungsu Provinsi Riau itu dimekarkan menjadi daerah otonomi baru berdasarkan UU No 12 Tahun 2009. Menariknya, tema hari jadi tahun ini mengangkat potensi lokal yakni sagu. Bukannya kisah heroik perjuangan pemekaran masa lalu atau slogan yang biasanya berbentuk kata-kata pemberi semangat. "Meranti Sentra Sagu Dunia" merupakan tema yang berani. Namun Kabupaten yang dipimpin Bupati Irwan Nasir dan Wakil Bupati Said Hasyim punya alasan kuat untuk itu. Meranti memang hidup dari sagu, ekonomi masyarakatnya paling besar ditopang oleh persaguan. Luas lahan sagu di daerah ini mencapai 53.494 hektare yang mana 75 persen merupakan milik masyarakat. Sisanya dikuasai satu-satu perusahaan sagu terbesar di Indonesia PT National Sago Prima (Sampoerna Group). Dari sisi luas lahan memang kalah jauh dibandingkan Papua yang lahan sagunya jutaan hektare. Namun produksi sagu Papua masih rendah karena tanaman sagunya berupa tanaman hutan yang tumbuh sendiri, sementara sagu Meranti merupakan hasil budidaya yang dikelola dengan baik oleh sekitar 8.002 pekebun. Produksi sagu di Meranti mencapai 216.997 ton per tahun. Jumlah ini merupakan produksi terbesar di dunia mengalahkan Malaysia. Hebatnya sagu Meranti sudah diekspor ke mancanegara seperti Malaysia, Singapura, Korea, dan terakhir menembus Jepang, negara yang dikenal dengan standar tinggi terhadap kualitas komoditi pangan impor. "Mendunia" nya sagu Meranti ini ditopang oleh 93 industri kilang sagu skala menengah dan besar yang menghasilkan sagu kering serta puluhan kilang sagu tradisional yang memproduksi sagu basah. Meski tradisional, kilang-kilang milik masyarakat ini sudah menggunakan peralatan mesin dengan teknologi produksi yang dirakit sendiri. Jumlah tenaga kerja yang diserap sektor persaguan ini pun sangat besar. Kisah kilang-kilang sagu rakyat di Kepulauan Meranti mengekspor sagu ternyata bukan kisah baru. Bahkan ada yang mencatat bahwa saat penjajahan Belanda, sudah ada kapal yang membawa sagu dari Selatpanjang ke Malaysia, Singapura dan Australia. Dulunya sagu menjadi makanan pokok masyarakat pesisir Selat Melaka. Namun eksistensi sagu sebagai pangan asli nusantara mulai terpinggirkan oleh program swasembada beras. Sagu pun dianggap makanan orang miskin. Menariknya, kilang-kilang sagu tua di Meranti tetap bertahan meskipun masyarakat setempat mulai meninggalkan kebiasaan makan sagu. Namun sejak Irwan Nasir terpilih memimpin satu-satu daerah pulau di Provinsi Riau ini, sektor persaguan kembali bergairah. Irwan bukan hanya ingin mengangkat potensi ekonomi sagu tetapi juga kearifan lokal (the local wisdom) di balik tanaman sagu yang ditekuni masyarakatnya. Ternyata tanaman sagu merupakan tanaman yang paling mudah tumbuh di tanah gambut yang memiliki kadar air tinggi. Disamping itu, tanaman sagu tidak perlu dikelola seperti padi. Sagu cukup ditanam dan tidak mudah mati oleh tumbuhan liar di sekitarnya sehingga tidak mengganggu profesi harian masyarakat pesisir yang rata-rata nelayan. Panen tanaman sagu menjadi tambahan penghasilan yang tingkat kontinuitasnya sangat tinggi. Sagu cukup sekal-sekali dibersihkan area sekitarnya dan dijaga tingkat kebasahannya. Sagu tidak perlu ditanam ulang karena akan berkembang biak dengan sendirinya. Masyarakat Meranti pun terbiasa membuat tebat atau sekat pada kanal atau parit di sekitar perkebunan sagu. Tujuan utamanya selain menjaga kadar air di tanah gambut untuk kebutuhan tanaman sagu namun ternyata tanah gambut memang membutuhkan air agar tidak mudah kering dan gampang terbakar. Sekat kanal ini dibuat terbuka saat musim hujan agar tanah tidak kebanjiran dan ditutup saat kemarau agar tanah gambut tidak kekeringan. Kearifan lokal menjaga tanah gambut ini pun mendapat sanjungan dari Presiden Jokowi yang berkunjung ke Meranti tahun 2013 silam. Teknik sekat kanal ini pun menjadi salah satu teknik rujukan pengelolaan lahan gambut di dunia. Selain itu tentu saja teknik pengolahan sagu yang dirintis masyarakat Meranti sejak turun-temurun. Jika dulu secara tradisional tanpa mesin yang dikenal dengan nama irik, saat ini mereka sudah mampu merangkai mesin laut menjadi peralatan untuk mengolah pati sagu. Padahal secara nasional belum ada tersedia mesin produksi khusus sagu. Pemkab Meranti terlihat terus berupaya memodernisasi teknologi pengolahan sagu. Saat ini telah dibangun sentra industri kecil dan menengah (IKM) sagu di Desa Sungai Tohor yang berstandar nasional dengan anggaran sekitar Rp 35 Milyar. Upaya ini diharapkan meningkatkan kualitas dan memperbanyak jenis produk hilir olahan sagu. Selain itu akan membuka pasar sagu seluas-luasnya baik secara nasional maupun mancanegara. Mudah-mudahan sagu Meranti semakin mendunia dan mampu menduniakan kearifan lokal (local wisdom) bangsa Indonesia. Penulis : Rudi Alhasan (Mantan Jurnalis yang kini mengabdi sebagai Sekretaris Disdagperinkop & UKM Kabupaten Kepulauan Meranti) |
||||||
|
|
Komentar Anda:
HOME | OTONOMI | POLITIK | EKONOMI | BRKS | OTOMOTIF| HUKRIM | OLAHRAGA | HALLO INDONESIA | INTERNASIONAL | REDAKSI | FULL SITE |
Copyright © 2010-2024. All Rights Reserved |