Home / Meranti | ||||||
Akibat Kabut Asap Kapal Pompong Guru SD Batin Suir di Meranti Sempat Nyasar Rabu, 11/09/2019 | 16:27 | ||||||
Tampak para guru duduk di haluan kapal, dengan latar pemandangan yang berkabut SELATPANJANG - Akibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang melanda Kabupaten Kepulauan Meranti membuat seluruh wilayah kabupaten termuda ini diselimuti kabut. Tidak hanya menggangu aktifitas di daratan, aktifitas pelayaran pun menjadi terganggu. Kabut asap yang tebal membuat jarak pandang di laut tempat jalur lintas pelayaran menjadi terbatas. Tidak hanya pelayaran domestik, jalur penyeberangan dari satu desa ke desa lainnya pun mengalami hambatan. Hal ini dialami langsung oleh sekelompok guru yang mengajar di daerah terisolir, tepatnya di Desa Dusun Keridi Desa Batin Suir, Kecamatan Tebing Tinggi Timur. Dia adalah Suardi (50), seorang kepala sekolah di SDN 10 Lukun, Desa Bathinsuir. Dia bersama 4 orang guru lainnya setiap hari berangkat dari pelabuhan Desa Banglas Barat menggunakan perahu kecil yang disebut Pompong. Perahu itu dibelinya dengan menggunakan uang pribadinya seharga Rp8 juta, selama mengabdi sudah lima perahu dia gunakan. Tak jarang mereka membuka perbekalan dan makan bersama, karena tidak ada kesempatan bagi mereka untuk sarapan dirumah. Pagi itu, kabut sangat tebal, namun mengingat puluhan murid sudah menunggu disana, kepala sekolah bersama empat guru lainnya terpaksa menyeberangi Sungai Suir walaupun harus ada resiko yang akan dihadapi. Benar saja, tidak beberapa lama waktu perjalanan, sang kapten yang juga kepala sekolah merasa ada yang aneh, pasalnya jalur yang dilalui agak asing. Setelah di cek, ternyata mereka menyasar kearah yang berlawanan arah. "Kabut asap menghambat dan membuat jarak pandang kami terganggu. Sehingga kami sempat tersesat agak jauh dari rute biasanya. Maka dari itu kami mengambil jalur tepi dan untungnya ada GPS dari handphone," kata Suardi. Setelah memutar haluan perahu, Suardi dan guru lainnya menyusuri jalur yang biasa dilewati dan akhirnya mereka sampai dengan selamat. Dikatakan Suardi, kapal Pompong miliknya itu merupakan satu-satunya moda transportasi menuju ke tempat mengajar. "Kalau Pompong ini rusak, kami bersama para guru dipastikan tidak bisa pergi mengajar, karena ini merupakan satu satunya transportasi menuju kesana," kata Suardi. Selama mengabdi sudah banyak suka duka pria yang menjadi guru sejak tahun 1988 ini, mulai dari perahunya tenggelam, mesin rusak di tengah perjalanan, sampai dengan kipas perahu tersangkut sampah yang berada didasar sungai. "Kalau kipas perahu tersangkut, terpaksa saya sendiri yang menyelam ke bawah dasar sungai," kata Suardi. Hambatan perjalanan menuju sekolah tempat mendidik anak anak suku Akit tidak sampai disitu, setelah menyusuri sungai yang ditempuh selama 1 jam, perjalanan panjang sudah menanti dengan kondisi jalan berlumpur yang membenamkan hingga diatas mata kaki. Agar bisa melewati jalan tersebut, mereka juga harus melepas sepatu dan menyisingkan celana mereka hingga ke lutut. "Kalau sepatu tidak dilepas, tidak bisa jalan karena lengket oleh lumpur tanah liat. Tidak ada base ataupun semenisasi, hanya tanah liat yang berlumpur," ujarnya. Tak jarang mereka saling bercanda untuk menghilangkan lelah, sesekali mereka berpegangan tangan satu sama lain agar tidak tergelincir akibat jalan licin dan tidak tercebur kedalam sungai ketika melalui jembatan yang rapuh dan berlobang. "Di dalam perjalanan, kami bersama guru lainnya selalu bercanda, ini sengaja dilakukan untuk mengusir rasa penat kami," cerita Suwardi. Perjuangan kepala sekolah yang sudah mengabdi sejak tahun 1996 ini tidak hanya saat menuju sekolah, lahan seluas 3240 m2 tempat sekolah ini berdiri pun dibelinya seharga Rp250 ribu pada tahun 2000 silam. Suardi mengungkapkan, sebelum mengajar di SDN 10 Lukun, Desa Batinsuir, ia mengajar di sekolah SDN 6 Desa Lukun, Kecamatan Tebingtinggi Timur. Namun, saat itu ia mendengar jika desa tetangga, Desa Batinsuir tidak memiliki guru dan sekolah untuk mengajar membaca, menulis dan menghitung bagi anak-anak suku Akit. "Saat saya mengajar dulu, tanah ini sengaja saya beli untuk dibangun sekolah, agar anak-anak disini bisa bersekolah. Pembangunannya kami ajukan proposal pada zaman Bengkalis tahun 2002, kalau tidak ada kami disini siapa lagi, tidak ada yang sanggup bertahan mengajar di sini," ungkap Suardi. Penulis: Ali Imroen Editor : Yusni Fatimah |
||||||
|
Komentar Anda:
HOME | OTONOMI | POLITIK | EKONOMI | BRKS | OTOMOTIF| HUKRIM | OLAHRAGA | HALLO INDONESIA | INTERNASIONAL | REDAKSI | FULL SITE |
Copyright © 2010-2024. All Rights Reserved |